Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.

Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.

Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).

Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!

Senin, 20 Desember 2010

Ikan Baung Asam Pedas dan Ikan Selais Goreng Rumah Makan Sinar Kampar

Pusat kebudayaan Melayu adalah Riau. Kebudayaan ini bahkan sudah menyebar sampai ke Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, bahkan sampai menyeberang ke negara tetangga. Boleh dikata, Riau adalah Truly Malay.

Pusat dari Riau adalah Pekanbaru. Bila Anda mencari referensi tentang budaya Melayu, ke Pekanbaru Anda harus pergi. Disana dapat kita temukan berbagai macam kekayaan budaya Melayu. Salah satunya adalah budaya masak-memasak Melayu.

Riau terkenal dengan masakan ikan air tawarnya. Provinsi ini mempunyai belasan sungai besar dengan kekayaan perikanan yang luar biasa. Tapi orang Riau juga suka memasak ayam dan daging.

Masakan Riau tidak sekondang masakan Minang (Padang). Namun pada dasarnya masih serumpun. Bumbu yang dipakai pun mirip. Hanya ada perbedaan aroma sedikit. Masakan Riau sama-sama kaya santan seperti masakan Minang. Masakan Riau juga mayoritas pedas. Jika Anda menyukai masakan Padang, Anda akan menyukai masakan Riau. Perbedaan yang kentara adalah bahwa masakan Riau lebih segar sementara masakan Minang lebih kental.

Saya sendiri sangat menyukai masakan Riau. Saya sudah terlalu sering menyantap masakan Padang yang biasanya sangat kental dan berminyak, sehingga ketika mencoba masakan Riau, seakan ada gairah baru. Aromanya segar dan ringan, meski tidak kurang bumbu dan kepedasan. Orang Riau pandai mengolah rasa asam dari masakan. Masakan yang berasa asam segar memang selalu menggoda selera saya untuk mencoba dan tambah lagi dan tambah lagi.

Masakan Riau yang populer adalah ikan asam pedas (orang Padang menyebutnya asam padeh). Saya menemukan sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Riau, yang rasanya bagi saya sangat mantap, tak jauh dari daerah Arengka. Rumah makan tersebut bernama Rumah Makan Sinar Kampar, yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta. Rumah makan ini terletak beberapa bangunan di samping Hotel Ibis, sekitar 300 meter dari Mall SKA Pekanbaru.

Orang Riau (seperti halnya orang Minang) memaknai makan sebagai sebuah jamuan. Setiap makan adalah makan besar (feast). Seperti orang Cina, mereka biasanya makan dengan set menu. Orang Riau tak biasa makan sendiri, mereka makan ramai-ramai dengan nasi dalam bakul besar dan semua menu yang ada di rumah makan itu dihidangkan di atas meja. Luar biasa. Tentunya kita hanya membayar yang kita makan saja.

Menu yang saya coba adalah ikan baung asam pedas dan ikan selais goreng. Ikan baung konon semakin langka di Pekanbaru. Ikan baung adalah seperti ikan lele besar yang hidup di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia. Ikan Baung di sungai-sungai Kalimantan konon bisa sangat besar dan bisa memangsa hewan-hewan ternak.

Sementara ikan selais adalah ikon dari kota Pekanbaru. Ikan ini sebenarnya juga semakin langka, karena sulit dibudi-dayakan. Ikan selais adalah ikan kecil yang bertubuh lebar pipih. Ikan ini biasa digulai, tapi sangat cocok juga kalau digoreng seperti biasa dan dimakan dengan sambal asam. Sangat cocok sebagai teman nasi putih yang panas mengepul, dua piring.

Sedangkan ikan baung asam pedasnya sangat menggugah selera. Ikan baung memiliki daging yang tebal dan padat, namun sangat, sangat lembut. Durinya hampir tidak ada. Bumbu asam pedasnya sangat mantap. Sangat asam dan segar menggugah selera, meskipun juga gurih karena bersantan. Untuk mendapatkan rasa asam seperti itu, mereka menambahkan pare (paria). Seperti kita tahu, sayuran ini sangatlah pahit. Ternyata aroma pahit itu bisa membangkitkan rasa masakan yang asam dan segar. Ini tip yang menarik.

Jangan lupa sambal merahnya. Warnanya sungguh menggoda. Begitu pula aromanya, ditambahkan irisan tomat hijau. Membuat saya berkeringat karena perpaduan antara kepedasan dan nafsu. Benar-benar pengalaman yang mengesankan.

Minggu, 12 Desember 2010

Gudeg Koyor Yu Yem

Terakhir saya pergi ke Semarang, sebelum pulang ke Jakarta, saya sempatkan berjalan-jalan di kawasan Simpang Lima. Sebelum jalan ke bandara, saya berniat untuk makan siang dulu.

Saya jalan kaki dengan santai sampai ke Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Di tengah jalan ada jalan masuk ke Jl. Seroja. Disitu ada warung gudeg Yu Yem. Iseng-iseng saya mencoba makan disitu.

Saya sudah pernah membahas sebelumnya mengenai gudeg kering ala Yogya dan gudeg basah ala Solo. Nah, gudeg Yu Yem ini jelas gudeg basah. Akan tetapi yang menarik adalah "koyor". Apakah itu koyor?

Anda harus mencoba gudeg "koyor" ini. Saya suka sekali cita rasanya. Yang dinamakan "koyor" sebenarnya adalah otot sapi. Itu istilah orang Jawa Tengah. Tapi jangan terbayang otot yang keras dan liat. Koyor itu otot sapi yang lembut sekali. Kalau Anda mengirisnya dengan sendok, koyor akan mudah terpotong. Di mulut pun terasa lembut menari-nari.

Jadi saya memesan gudeg koyor ke Yu Yem (dia sebenarnya sudah nenek-nenek), tanpa diberi opor ayam seperti yang biasa ditambahkan di gudeg umunya. Tetap ditemani sambal goreng krecek dan tempe bacem.

Saya suka sekali. Kalau tidak ingat jam pulang yang semakin mepet, mungkin saya akan lebih lama disitu, nambah satu piring lagi.

Sabtu, 11 Desember 2010

Gudeg Barek Bu Amad

Gudeg adalah makanan tradisional Jawa Tengah dan menjadi ikon dari Yogyakarta. Apabila Anda berkunjung ke Yogya, pasti orang akan bertanya, "Sudah mencoba gudeg belum?"

Gudeg adalah sejenis stew dalam tradisi masak-memasak barat, yaitu cara memasak dengan merebus bahan-bahan padat cukup lama sehingga menjadi empuk dan kuahnya menjadi kental. Untuk itu, gudeg masuk kategori slow-cooking food. Bahkan kadang untuk memasak gudeg yang enak, diperlukan waktu lebih dari 6 jam. Kadang bahkan sampai kuahnya kering sama sekali.

Buat Anda yang belum tahu (jarang sekali orang Indonesia tidak tahu gudeg), gudeg adalah adalah masakan sayuran berwarna coklat gelap berasa manis yang terbuat dari nangka muda. Bumbu dari gudeg sangat khas dan penuh rempah. Rasa manisnya diperoleh dari gula kelapa (gula merah). Bumbu yang biasa dipakai dalam membuat gudeg adalah laos, daun salam, ketumbar, bawang putih dan bawang merah, kemiri, ketumbar, dan yang khas, yang biasanya dicampurkan ke dalam gudeg, adalah daun jati.

Ada dua macam gudeg, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Orang Solo biasanya suka sekali menyantap gudeg basah, yaitu yang berkuah dan bersantan lebih banyak. Gudeg basah biasanya lebih pedas. Gudeg kering yang disukai oleh orang Yogya biasanya berasa lebih manis.

Makan gudeg berarti makan yang serba manis (terutama gudeg kering). Orang Sumatera misalkan, yang sudah terbiasa dengan bumbu asam, asin, dan pedas, mungkin memerlukan waktu lebih banyak untuk belajar menyukainya. Campuran dari gudek yang tidak kalah penting adalah tempe dan tahu bacem (dimasak manis), telur pindang (telur yang dimasak dengan kulit bawang merah dan daun jati hingga mengeras dan berwarna hitam), dan sambal goreng krecek (kulit sapi kering yang dibumbu pedas dan direbus dengan santan hingga lembut).

Ada beberapa sentra gudeg di kota Yogya yang terkenal, di antaranya adalah Wijilan, Barek, dan lain-lain. Di Wijilan misalkan, ada rumah makan gudeg yang terkenal seperti Gudeg Yu Djum. Di daerah Janturan, ada tempat makan gudeg yang fenomenal karena makannya di dalam dapur tradisional. Di Barek (dekat UGM) pun tak kalah, ada Gudeg Bu Amad yang terkenal. Kebetulan beberapa saat yang lalu saya diberi kesempatan mengunjungi tempat rumah makan Gudeg Bu Amad.

Saya pertama kali makan di Gudeg Bu Amad tahun 2001, waktu itu adik saya masih kuliah di Yogya. Lokasinya berada di Utara Selokan Mataram, dekat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Sampai saat ini, rasanya masih tetap sama. Gurih dan menggugah selera. Makan gudeg adalah sebuah pertemuan budaya. Rasanya akan lebih enak apabila Anda makan di antara suasana khas Yogya. Anda harus memahami Yogya untuk memahami konsep di balik rasa gudeg. Menikmati makanan khas adalah sebuah pengalaman budaya.

Di Bandung, salah satu contoh untuk menjelaskan konsep pengalaman budaya ini, ada sebuah restoran gubuk di tengah sawah. Ternyata makan nasi timbel sunda di tengah sawah dengan tangan lebih enak dibandingkan makan di restoran bintang lima di Jakarta. Nasi timbelnya sendiri sebenarnya minimalis dalam bumbu dan dimana-mana rasanya sama saja. Pepatah dalam bahasa Inggris yang saya pakai: "Not just eat it. Experience it."

Nah, itulah yang saya rasakan ketika makan Gudeg Barek Bu Amad. Suasana Yogya yang tenang dan berbudaya membuat saya sangat menikmati gudeg tersebut. Selama di Yogya, saya menyukai rasa manisnya. Gurih dari bumbu yang meresap begitu dalam setelah direbus berjam-jam, terasa begitu menggugah selera dipadukan dengan nasi putih yang masih panas mengepul. Rahasia dari masakan gudeg yang sukses adalah proses memasaknya yang menggunakan kayu bakar. Aroma gudeg yang dimasak Bu Amad dengan kayu bakar merasuk hingga serasa ada suasana yang menentramkan dalam makanan tersebut. Saya selalu mengenang pengalaman ini, menjadi orang Yogya untuk sesaat. Anda mungkin perlu mencobanya.

Rabu, 08 Desember 2010

Nasi Ayam Simpang Lima

Namanya memang simpel: "nasi ayam". Atau "sego ayam" kata orang Jawa. Tapi makanan ini harus dicoba ketika Anda mengunjungi kota Semarang, Jawa Tengah. Anda belum ke Semarang kalau belum menikmati Nasi Ayam ini.

Sebenarnya nasi ayam adalah masakan generik. Bertebaran dimana-mana, tanpa harus ada merek. Rasanya pun hampir sama-sama antar vendor. Tapi tentu saja, karena para pelancong senang berkumpul di pusat kota Semarang, yaitu kawasan Simpang Lima, maka daerah itu menjadi sentra berkumpulnya pedagang nasi ayam. Biasanya mereka berjualan pagi, atau malah ada yang berjualan larut malam. Siang-siang justru jarang kita temui. Biasanya kita menyantap nasi ayam sambil duduk lesehan di atas tikar, sambil mengobrol menikmati pemandangan jalan Simpang Lima yang ramai.

Saking generiknya, bahkan mereka hanya menamainya nasi ayam. Padahal bermacam-macam yang dihidangkan dalam satu pincuk itu. Kalau Anda perlu gambaran populer, bisa dikatakan nasi ayam itu seperti nasi liwet Solo. Nasi liwet panas disajikan di atas pincuk daun pisang, diberi sayur labu siam, sayur tahu, potongan telur pindang, dan tentu saja daging ayam suwiran. Karena memasaknya dengan cara tradisional, aroma nasi dan sayurnya sangat sangat menggugah selera.

Biasanya kita memakannya dengan lauk tambahan. Banyak sekali pilihannya, mungkin akan membuat Anda ingin mencoba semuanya. Ada hati-ampela, tahu dan tempe bacem, sate usus ayam, sate telur puyuh, dan lain-lain. Saya mencoba yang unik, yaitu sate telur muda (telur belum jadi yang masih di dalam tubuh ayam). Orang Jawa Tengah menyebut telur muda sebagai "uritan" (sedangkan orang jawa timur menyebutnya "rongkong", dan biasa muncul di soto Lamongan yang legendaris itu). Sudah lama sekali saya tidak menikmati telur muda, karena di daerah tempat saya tinggal di Jabodetabek jarang saya temui.

Tapi ingat, buat Anda yang muslim, jangan memakan yang namanya "saren" (orang Jawa Timur menyebutnya "didih"). Saren adalah darah ayam yang dibekukan, kemudian digoreng. Biasanya berbentuk kotak seperti hati sapi, berwarna merah kehitaman. Yang lain, Insya Allah halal dan lezat.

Nasi ayam ini disiram dengan dua macam kuah: kuah sayur labu siam (orang jawa menyebutnya jipang) yang kental dan agak pedas, dan kuah opor tahu yang encer. Saya membagi tips bagi Anda yang gemar pedas luar biasa: jangan tambahkan sambal, alih-alih mintalah kepada penjualnya cabe yang direbus dalam sayur. Cabenya biasanya cabe rawit utuh yang bisa digigit langsung bersama suapan nasi.

Senin, 22 November 2010

Nasi Bekepor Warong Selera Acil Inun

Dulu di daerah Pakubuwono, Jakarta, ada rumah makan masakan Kutai Kalimantan Timur bernama Warong Selera Acil Inun. Rumah makan yang merupakan cabang dari Samarinda ini konon highly recommended. Tapi sayang, saya belum sempat makan di sana, rumah makan di Jakarta ini sudah tutup.

Ternyata beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan pergi ke Samarinda. Saya sempatkan untuk mencari pusatnya, di Jalan Kadrie Oening, Samarinda. Lumayan jauh dan terpencil, berbukit-bukit pula, di sebelah barat laut Samarinda. Serasa berjalan-jalan di Bukit Dago, Bandung, 15 tahun yang lalu dimana suara jangkrik masih bisa terdengar.

Tempatnya lumayan nyaman, seperti makan lesehan di pedesaan. Tidak terlalu ramai saat itu, tapi tamu datang silih berganti.

Menu di Warong Selera Acil Inun memakai bahasa daerah Kutai/Kalimantan Timur. Ikan disebut dengan Jukut. Ayam disebut dengan Manok. Biasanya ada 2 cara memasaknya, Sanga (digoreng) dan Tunu (dibakar). Jadi menu udang goreng misalkan, disebut dengan Udang Sanga, dan ayam bakar disebut dengan Manok Tunu. Untuk sayur, disebut dengan Gangan (orang Jawa menyebut Jangan). Berbagai macam menu lauk dan sayur pasti membuat kita bingung mau pesan apa.

Yang saya pesan adalah Nasi Bekepor. Nasi Bekepor adalah nasi liwet dengan campuran minyak sayur, rempah-rempah, dan potongan ikan asin. Untuk memesan ini saya harus menunggu 45 menit, karena menu ini made to order. Begitu ada orang yang pesan, baru mereka meliwet nasinya. Biasanya tamu yang mau makan nasi bekepor disarankan menelpon dulu sebelum datang. Tapi 45 menit penantian saya memang tidak mengecewakan. Sangat memuaskan malah, sampai saya makan nasi bekepor hanya dengan sambal dan melupakan lauk yang lain.

Saya pesan lauk tambahan, yaitu daging masak bumi hangus, dan sayur gangan asam kukar, Daging masak bumi hangus semacam daging bumbu kecap. Sedangkan gangan asam kukar adalah sayur harian yang hanya muncul di menu pada hari kamis. Tiap hari mereka berganti menu sayur. Gangan asam kukar adalah sejenis sayur asem, seperti pindang hanya jauh lebih berbumbu, dengan memakai kepala ikan dan ubi manis. Selalu mengasyikkan mencoba menu dengan kombinasi dan bumbu yang unik seperti ini.

Sambalnya juga tak kalah menarik. Sambalnya merah menggoda, tapi rasanya asam sekali, dengan campuran jeruk nipis. Rasa asam buat saya selalu menggugah selera makan.

Saran saya, ajak teman-teman beramai-ramai kalau datang ke restoran ini, Kalau hanya sendirian, niscaya Anda tak akan puas mencoba menu-menu lain. Menunya banyak, porsinya banyak, dan semuanya rata-rata menarik.

Menu kondang yang belum saya coba antara lain adalah sambal raja (sambal pedas dengan air jeruk nipis, terong, telur, udang bakar, dan ikan), bakwan jagung, rojak singkil (sayur dari daun singkil yang ada di hutan Kalimantan), sate payau (rusa), tumis pakis dan tumis genjer.

Sudah tidak kuat lagi kalau harus coba semua. Tapi menurut legenda, orang yang sudah pernah minum air sungai Mahakam, suatu saat akan kembali ke sana. Saya minum air teh, bukan air sungai. Tapi mungkin saja air teh itu diambil dari air sungai Mahakam.

Rumah makan ini adalah rumah makan yang paling berkesan dari semua tempat makan yang pernah saya kunjungi. Saya juga memberikan stempel: "HIGHLY RECOMMENDED". Cap!

Nasi Goreng Babat Pak Taman

Masakan Jawa Tengah memang terkenal manis. Tapi baru di Semarang saya mendapati bahwa masakan manis benar-benar menjadi gaya hidup yang dihayati. Orang Jawa Timur sangat suka rasa yang dicampur-campur menjadi satu (asin, asam, manis). Makanan Solo tidak hanya manis, sangat beragam. Sedangkan di Yogya, memang kebanyakan manis, walaupun banyak kiblat masakan lain yang tidak mengandalkan manis banyak juga kita jumpai disana.

Tapi di Semarang, rasa manis itu sangat kental, dimana-mana. Hampir semua masakannya dominan menggunakan kecap manis atau gula merah. Bahkan masakan soto pun biasanya ditambahkan tempe bacem atau sate kerang yang sangat manis. Hal seperti tidak akan kita temui di Lamongan atau Madura misalkan (kiblat soto nusantara), atau Makassar, atau Betawi, atau Minang.

Salah satu yang saya temukan sangat manis adalah nasi goreng. Nasi goreng di Semarang berlumuran kecap manis. Nasi goreng sebenarnya masakan yang genealoginya adalah masakan Asia Timur/Cina. Mereka tidak terlalu banyak menggunakan kecap manis, lebih sering kecap asin. Tapi di tangan orang Semarang, nasi goreng menjadi sangat manis dan sangat khas. Mungkin nasi goreng ini cocok di-endorsed oleh konglomerasi kecap manis yang rajin mendikte rasa dengan "festival kuliner"-nya. Beberapa masakan khas daerah menjadi berubah cita rasa gara-gara dipaksakan memakai kecap manis merek tertentu dengan harapan bisa diikutkan dalam festival kuliner tersebut.

Kembali ke Semarang, beberapa waktu yang lalu saya berniat berburu nasi goreng khas kota ini. Nasi goreng yang cukup unik saya temukan adalah di samping Stadion Diponegoro, Semarang. Nasi goreng ini namanya nasi goreng babat. Sesuai namanya, nasi goreng ini dicampur dengan daging babat, meskipun juga ada daging biasa dan juga jerohan lain.

Seperti biasa, rasanya sangat manis. Jerohan dan babat yang terkandung dalam masakan itu cukup banyak. Yang menarik, jerohan dan babat itu tidak beraroma tidak sedap seperti kebanyakan jerohan, selain itu rasanya juga lembut, tidak liat. 

Bila Anda penggemar jerohan dan babat, perlu mencoba masakan ini. Nasi Goreng Babat Pak Taman hanya buka dari pagi sampai siang, jadi sebaiknya jangan datang kemalaman.

Minggu, 21 November 2010

Pecel Ontong RM Handayani

Pecel Ontong ya, bukan Pecel Lontong?

Sudah lama sekali saya tidak makan makanan ini, karena di Jakarta memang tidak lazim ditemui. Dulu waktu saya masih tinggal di Kediri, mudah sekali menemukannya.

Ontong dalam bahasa Indonesia artinya jantung pisang. Daging jantung pisang berserat-serat seperti daging ayam. Menurut saya pribadi, Ontong lebih enak dari daging ayam. Boleh percaya boleh tidak.

Kebetulan saya sempat mampir di RM Handayani, Jalan Kertajaya, Surabaya. Rumah makan ini menyajikan menu specialty yaitu Pecel Ontong. Saya makan Pecel Ontong dan Belut Kecap. Pecel Ontongnya gurih dan berserat, dengan aroma yang harum. Bumbu pecelnya lebih lembut dan kental. Sementara Belut Kecapnya cukup menggugah selera, meskipun makan belut harus ekstra hati-hati. Menu specialty lain yang perlu dicoba adalah tumis kol nenek (keong capit, entah masaknya bagaimana), dan tumis lorjuk (sejenis teripang). Mungkin lain kali.

Tahu Pong Sari Roso

Mengapa namanya "tahu pong"? Apakah itu nama yang berasal dari bahasa Cina? Ternyata bukan. 

Memang tahu pong berasal dari tradisi masakan Cina. Tapi orang Jawa yang menamainya "tahu pong", karena tahunya memang "kopong". Maksudnya tahu goreng yang bagian dalamnya kosong.

Di Semarang, masakan tahu pong sangat populer, karena Semarang memang terkenal dengan akulturasi budaya Cina-Jawanya. Pada intinya, tahu pong adalah sekedar kudapan sederhana yang terdiri dari tahu goreng.

Di Jalan Depok, Semarang, terdapat warung tahu pong yang cukup ramai, yaitu Tahu Pong Sari Roso. Sebenarnya bukan hanya tahu pong, tapi segala jenis olahan tahu yang khas mereka tawarkan.

Ada beberapa menu yang bisa dipesan, antara lain tahu pong (tahu kosong), tahu gimbal (tahu dan udang digoreng dalam 1 adonan), tahu emplek (maksudnya tahu Cina yang padat, tidak "kopong"), atau tahu kopyok (tahu yang dihancurkan kemudian digoreng kembali jadi 1 dalam adonan telur). Untuk menikmatinya, disediakan saus khas tahu pong Semarang, yaitu saus encer hitam, seperti kuah, yang terbuat dari petis, kecap, dan bawang. Biasanya para pelanggan menambahkan irisan cabe rawit ke dalam saus ini.

Biasanya, orang Semarang memakan menu tahu pong ini dengan nasi. Tapi karena saya belum terbiasa, jadi saya memperlakukannya sebagai kudapan saja. Untuk menikmatinya, selain saus, juga disediakan acar lobak sebagai teman makan.

Sebenarnya ini adalah seni makan tahu. Untuk bisa mengapresiasi menu tahu pong di sebuah rumah makan, kualitas tahu sangat penting. Sausnya sendiri menurut saya tidak terlalu penting. Sausnya, seperti kebanyakan masakan Semarang, sangat manis karena kecap manis yang mendominasi. Petis udang hanya sebagai penyeimbang rasa. Berbeda dengan masakan Jawa Timur misalkan, yang sangat kentara rasa petis udang di banyak masakan. Di beberapa budaya masakan Indonesia lain, berbeda dengan Semarang, makan tahu identik dengan saus kacang.

Sekali lagi, kualitas tahu yang ditonjolkan disini, sehingga harganya juga di atas rata-rata bila kita makan tahu di tempat lain. Bandingkan misalkan, bila di pinggiran jalan di Bandung, Anda bisa membeli tahu Sumedang sekeranjang isi 30 beserta lontongnya seharga Rp 10 ribu. Saya makan tahu pong dan tahu gimbal sepiring beserta minum di Semarang mengeluarkan uang sekitar Rp 18 ribu. Tapi cukup mengenyangkan juga, Kok! Untung saya tidak pesan nasi. Kalau iya, jadinya bayar lebih mahal ya?

Sabtu, 20 November 2010

Rawon Buntut Depot Anda

Tempat makan yang cukup terkenal ini berada di kota kelahiran saya.

Depot Anda menyajikan masakan khas Jawa Timur, seperti Rawon dan Soto. Letaknya di sebelah Stasiun Kereta Api Mojokerto, Jawa Timur. Tempat makan ini cukup legendaris, sudah dijalankan oleh 3 generasi. Dirintis mulai awal 1900-an di Mojokerto oleh Kwee Kie Siong, dan sampai sekarang tidak membuka cabang. Awalnya hanya warung kecil di sebelah rel kereta api, sekarang terkenal bahkan sampai ke Jakarta.

Makanan yang cukup laris adalah sop buntut dan rawon buntut. Bagi Anda yang tidak familiar dengan masakan Rawon, sekedar info, dia adalah sup daging berwarna hitam yang kaya rempah berbumbu khas, yaitu kluwek.

Sebenarnya masakan rawon yang memakai buntut sapi agak tidak konservatif. Biasanya rawon hanya memakai daging murni tanpa tetelan, tulang, dan jerohan. Nama "rawon" konon berasal dari kata "rawis" atau "rawisan", yang berarti daging sebelah dada yang bergajih tapi seratnya tidak mudah hancur. Daging yang dipakai biasanya adalah bagian Brisket atau Plate.

Tapi sekarang rawon sudah bermacam-macam jenisnya, yang walaupun kurang tradisional, tak kalah enak. Selain rawon buntut, juga dikenal Rawon Dengkul (paha) yang tersohor di daerah Pasuruan.

Rasa Rawon Buntut Depot Anda cukup unik. Berbeda dengan rawon di tempat lain, di Depot Anda rawon tersebut ditambahkan sedikit kol. Selain Rawon Buntut biasa, juga ada Rawon Buntut Goreng.

Ingat, pada jam makan siang, Depot Anda ramai sekali. Mungkin Anda harus antri dan rela berbagi meja dengan orang lain. Bahkan banyak pengunjung yang datang dari Surabaya (berjarak puluhan kilometer dari Mojokerto) ikut mengantre untuk sekedar makan siang.

Lunpia Mataram

Orang muslim sebaiknya tidak sembarangan makan di Semarang. Semarang adalah kota tua tempat berkumpulnya etnis dan budaya yang bermacam-macam. Setiap budaya memiliki tradisi makanan khas sendiri-sendiri, kadang malah terjadi percampuran dan pembauran budaya kuliner. Keragaman ini begitu kentara dalam sajian makanan-makanan di Semarang. Ada yang halal, ada pula yang tidak.

Di Semarang, dengan mudah kita jumpai makanan yang jarang secara bebas kita temui di kota-kota lain. Di daerah stadion Diponegoro, sebuah warung yang tak sepi pengunjung menjual Rica-rica RW (sebutan untuk rica-rica daging anjing) dan Tengsu (Tongseng 'Asu'). Di beberapa warung masakan jawa, sering kita temui Saren (orang Surabaya menyebutnya 'Didih', artinya darah ayam yang dibekukan). Orang Semarang juga gemar sekali menyantap Swikee, masakan dari daging kodok.

Saat saya berjalan-jalan di Semarang, saya mencari makanan yang identik dengan Semarang, yaitu lumpia. Saya hendak pergi ke sebuah gang di Semarang dimana lumpia disitu terkenal akan keasliannya. Belakangan seorang teman yang non muslim menyarankan saya untuk tidak pergi kesana, menurut dia lumpia disitu memakai daging babi. Konsumen disitu memang kebanyakan keturunan Tiong Hoa, karena daerah tersebut juga sebenarnya masuk China Town.

Tapi sebenarnya Semarang adalah sebuah Chinatown besar. Pada abad ke-15, Laksamana Cheng Ho yang terkenal dari Tiongkok mendarat di Semarang dan mendirikan sebuah gedung yang kemudian dijadikan Kelenteng. Laksamana Cheng Ho sendiri sebenarnya adalah orang Islam, dan konon dia termasuk orang-orang yang paling awal mengajarkan agama Islam kepada penduduk asli Semarang. Pelaut dan Prajurit Laksamana Cheng Ho banyak yang memutuskan untuk tinggal dan beranak pinak di Semarang, sampai sekarang.

Itu mengapa, kehidupan antar etnis di Semarang berlangsung rukun. Tradisi masak-memasaknya pun berasimilasi, dengan menyesuaikan preferensi rasa dan budaya dan agama masing-masing. Lumpia adalah masakan yang dibawa dari pendatang tiongkok dan akhirnya digemari penduduk asli. Penduduk asli pun membuat lumpia versi mereka sendiri, sesuai dengan budaya dan cita rasa mereka sendiri.

Saya adalah penggemar berat lumpia. Entah kenapa, saya tak bisa menahan diri bila melihat menu lumpia di rumah makan. Kegemaran saya dipuaskan ketika saya mengunjungi Semarang.

Nama asli dalam bahasa Cina dialek Hokkian adalah "lunpia" atau "junpia". Banyak orang Indonesia dan Filipina menyebutnya "lumpia". Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama 'Spring Roll', karena di Cina Daratan, lumpia adalah makanan yang biasa dimakan pada musim semi. Lumpia adalah makanan pembuka sebelum menu utama, akan tetapi di Hong Kong, lumpia biasanya juga menjadi bagian menu teman minum teh (dimsam). Orang Belanda yang pernah menjajah Semarang membawanya ke negerinya dan menjadi makanan yang sangat populer disana, mereka menyebutnya "loempia". Selain lumpia goreng, saya juga gemar lumpia basah, terutama yang terkenal dari Vietnam, dengan isi udang, soun, daun ketumbar dan rempah-rempah lain, dihidangkan dingin.

Akhirnya saya makan lumpia khas Semarang yang halal. Saya makan di tempat bernama Lunpia Mataram, di Jalan Pandanaran, yang merupakan cabang dari gerai di Jalan Mataram. Pemilik kedai lumpia ini (seperti pemilik kedai-kedai lumpia kebanyakan di Semarang) adalah keturunan dari satu keluarga saja, yaitu keturunan Tjoa-Wasi.

Pada abad ke-19, Tjoa Thay Joe, seorang Cina totok dari Fukien, berjualan lumpia di Semarang dengan cukup sukses. Rasa lumpianya asli cita rasa Hokkian, dengan isi daging babi dan rebung. Ternyata dia memiliki saingan, yaitu Mbok Wasi, seorang wanita Semarang asli, yang berjualan lumpia dengan cita rasa Jawa yang manis, dengan isi telur, udang, rebung, wortel, dan sayuran lain. Persaingan ini sangat keras, sehingga mereka saling meningkatkan mutu menu dagangan mereka.

Tidak disangka, pada suatu ketika Tjoa Thay Joe tiba-tiba datang ke tempat Mbok Wasi, dan kemudian meminangnya. Mbok Wasi menerima pinangannya, dan akhirnya mereka menikah. Dalam pernikahan ini, mereka meracik perpaduan resep dari lumpia mereka, sehingga bisa kita temui lumpia Semarang yang sekarang ini ada. Dalam perpaduan itu, daging babi sudah tidak dipakai lagi, agar dapat dikonsumsi juga oleh kaum pribumi. Kebanyakan pedagang lumpia terkemuka di Semarang sekarang ini adalah keturunan dari mereka, dan masih memegang teguh resep asli mereka.

Lumpia yang saya makan di Lunpia Mataram cukup besar. Adonannya sangat penuh dan menggoda. Kulitnya sangat gurih. Aroma rebung dan udangnya sangat terasa. Khas hampir semua masakan di Semarang, rasanya sangat manis, terutama saus celupnya. Kalau di Hong Kong atau Vietnam, teman dari lumpia adalah saus Hoisin, sejenis saus kental asin berwarna hitam terbuat dari kedelai, bawang putih, cuka, dan ubi. Bila kita makan lumpia di Surabaya, temannya adalah saus Tauco. (Orang Jakarta punya kebiasaan aneh mencelupkan segala jajanan ke bumbu pecel.)

Di Semarang, saus untuk lumpia adalah bumbu kental dan kenyal yang sangat manis, terbuat dari gula merah, bawang, dan tapioka. Saya sebenarnya penggemar saus Tauco, tapi menarik juga makan lumpia dengan cara Semarang. Anda harus terbiasa dengan rasa manis sebelum mencoba menyukainya.

Yang khas dan selalu saya nantikan dari sebuah lumpia adalah aroma rebung yang otentik. Lumpia Semarang sangat kuat rasa rebungnya tanpa membuat neg. Ini lah yang otentik dari sebuah lumpia. Di Cina, lumpia kadang berisi rebung atau bengkoang. Banyak makanan jalanan di Jakarta yang menyediakan menu lumpia tapi tanpa rebung. Kalaupun ada kadang tanpa pengolahan yang benar. Rebung meninggalkan aroma yang khas dan kadang tidak sedap. Untuk itu pengolahan lumpia di tangan seorang ahli menjamin rasa yang otentik dan menggugah selera dari rebung itu sendiri.

Lumpia hanya 'sekedar' gorengan, tapi sesungguhnya makanan ini cukup rumit. Baik dari isinya, saus celupnya, maupun kulitnya. Lunpia Mataram yang saya makan memiliki kesempurnaan selain di isinya, juga di kulitnya. Kulitnya lembut, tapi gurih dan tidak mudah hancur. Tidak terlalu kering, juga tidak terlalu berminyak ketika digoreng. Diperlukan pengalaman bertahun-tahun untuk dapat membuat kulit lumpia seperti itu.

Jumat, 19 November 2010

Soto Banjar Quin

Balikpapan adalah kota pendatang yang ramai karena pertambangan minyak. Berbagai macam etnis tinggal di sana. Jawa, Madura, Kutai, Banjar, Cina, Bugis, Timor, dan lain-lain. Ini mempengaruhi juga tradisi makan di sana. Penduduk sana terbiasa makan makanan yang berbeda rasa dan gaya masak. Kegemaran penduduk sana adalah makan kepiting, nasi pecel, roti mantauw, dan soto lamongan.

Salah satu etnis yang banyak mendiami Balikpapan adalah etnis Banjar. Ini berarti kekayaan makanan Banjar juga banyak ditemukan di Balikpapan. Ciri khas orang Banjar biasanya suka sekali masakan ikan air tawar.

Masakan Banjar lainnya yang cukup terkenal adalah Soto Banjar. Soto Banjar adalah soto daging ayam yang biasanya dimakan dengan lontong dan perkedel singkong. Kuahnya segar, tanpa santan. Yang membedakan dengan soto Lamongan atau Makassar adalah lebih sedikitnya minyak atau lemak dalam soto tersebut. Aroma adas membuat soto ini mempunyai rasa yang unik. Bumbu ini tidak ditemui di Soto Lamongan, Soto Madura, Soto Makassar, ataupun Sauto Sokaraja. Soto Banjar mirip Soto Padang yang juga menggunakan adas, tapi memakai lemak daging sapi.

Soto Banjar Quin cukup terkenal di Balikpapan. Letaknya di Jalan Jend. Sudirman. Pengunjungnya cukup ramai, bukan hanya dari etnis Banjar semata. Soto Banjar Quin memakai ayam kampung. Sotonya dihiasi dengan potongan-potongan telur rebus yang menggoda. Perkedelnya juga khas dan menggugah selera makan.

Ketupat Gorengan Bang Alex

Sudah beberapa tahun ini saya tinggal di kampung betawi yang masih tradisional. Meski tidak terlalu cocok dengan gaya hidup mereka, saya menggemari tradisi masak-memasak betawi. Menurut saya mereka mempunyai sense of culinary yang tinggi. Ditambah asimilasi dan akulturasi yang melatarbelakangi warisan masakan tradisional mereka. Di kekayaan masakan tradisional Betawi, kita bisa menemukan unsur Cina, Sunda, Bugis, Arab, dan Sumatra.

Beberapa waktu lalu saya makan di Ketupat Gorengan Bang Alex, Kebon Jeruk. Jenis masakan tradisional ini bisa dibilang hanya bisa ditemui di sekitar Kebon Jeruk dan Kebayoran Baru, Jakarta.

Sebenarnya nama Ketupat Gorengan adalah salah kaprah. Tidak ada gorengan di situ. Yang dimaksud dengan Ketupat Gorengan adalah ketupat sayur, dicampur dengan daging dan jerohan sapi, dalam kuah bersantan seperti sop betawi.

Ketupat Gorengan Bang Alex terletak di Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta. Hanya warung tenda kecil di pinggir jalan, pas di sebelah Restoran Bumbu Desa (yang mengaku kampungan tapi megah luar biasa). Harga makanan bumi dan langit bila dibandingkan dengan konglomerasi Bumbu Desa.

Kalau Anda tidak mudah hilang selera dengan jerohan, coba pesan jerohan dan daging mata sapi. Daging di sekitar mata sapi memiliki tekstur yang berbeda dengan daging di bagian lain, bahkan biasanya masih ada potongan bagian matanya. Kalau Anda tidak terbiasa, potongan daging has juga tersedia.

Sop daging itu dimakan dengan ketupat sayur, dengan labu siam. Tidak salah kalau ada yang bilang ketupat sayur disini adalah salah satu yang paling enak di seantero Jakarta.

Masakan tradisonal ini perlu Anda coba. Tidak terlalu otentik sebenarnya, kita sudah terbiasa sebelumnya menyantap soto betawi dan ketupat sayur. Hanya perpaduan penyajiannya yang membuatnya begitu unik. Tentunya hidangan ini tidak disarankan untuk Anda yang berkolesterol dan asam urat tinggi.

Kamis, 18 November 2010

Lontong Balap Rajawali

Lontong Balap adalah makanan khas Jawa Timur yang kadang underrated. Orang lebih kenal Rawon atau Soto Sulung daripada Lontong Balap. Banyak orang yang belum kenal.


Sebenarnya Lontong Balap tidak jauh berbeda tampilannya dari Tauge Goreng yang sering kita temui di Bogor. Konsep sama dengan treatment yang berbeda. Hanya saja rasa khasnya didapat dari bumbu petis udang, yang menandai cita rasa masakan pesisir. Campuran unik lainnya adalah lontong, tahu, dan gorengan dari kedelai yang disebut "Lento".


Saya memang kelahiran Jawa Timur, tapi jujur, saya kurang akrab dengan Lontong Balap. Aromanya agak khas, sehingga tidak semua orang Surabaya sendiri suka. Namanya sendiri juga terkesan aneh dan tidak nyambung. Tapi nama tidak penting.


Saya sempat mengunjungi Lontong Balap Rajawali, di Jalan Rajawali, Surabaya. Tempatnya kecil, seperti warteg. Tapi konon musisi papan atas Indonesia sering terlihat makan disana kalau sedang di Surabaya. Kalau Anda menginap di Hotel Ibis Surabaya, tinggal jalan kaki sekitar 200 meter ke barat.


Ternyata ada pengalaman yang berbeda menyantap Lontong Balap. Makan Lontong Balap seharusnya ditemani Sate Kerang. Sate Kerang Surabaya biasanya dipilih kerang yang kecil-kecil tapi gurih. Rasa khas ini tidak saya temui di Jakarta. Tidak salah juga menyebut makanan ini sebagai seafood alternatif.


Orang Surabaya biasa minum es kelapa muda setelah makan Lontong Balap. Tapi berhubung saya mengurangi kebiasaan minum minuman dengan es batu sejak awal 2000, saya pesan teh hangat. Ingat, teh di Jawa Timur selalu manis.


Untuk semuanya, saya membayar Rp 12.000. Cukup memuaskan, tidak percuma mencobanya.

Coto Makassar Paraikatte

Memang di Jakarta juga banyak restoran Coto Makassar. Tapi ada cita rasa khas yang ketika kita makan di warung Coto Makassar Paraikatte, di kota kelahirannya sendiri, yang tidak kita dapatkan di restoran manapun di Jakarta.


Coto Paraikatte terletak di jalan Patterani, Makassar, Sulawesi Selatan. Tiap harinya ramai oleh pengunjung yang notabene penduduk lokal. Saat itu mungkin cuma saya orang Jakarta yang makan di situ.


Rasanya khas. Saya pesan coto jerohan dan seorang teman pesan coto daging. Memang yang saya pesan berisiko kolesterol tinggi, tapi menurut saya, pengolahan jerohan yang prima sangat memberikan nilai tambah terhadap rasa khas coto. Asal jangan keseringan makan coto jerohan saja. Dan ternyata coto jerohan di Paraikatte cukup enak.


Kalau saya diminta memberikan nilai skala 1-10, ada satu hal yang membuat saya bermaksud memberikan nilai 9, yaitu "Sambal"nya. Sambalnya luar biasa, memiliki cita rasa yang tidak akan kita temui meskipun kita seharian mengubek-ubek Jakarta.


Sambalnya terutama terbuat dari tauco atau kedelai asli dan kental. Cita rasanya pas, dan pedasnya pas pula. Rasanya tidak ada duanya, melengkapi rasa coto, tapi juga mempunyai kekhasan rasa dan aroma tersendiri. Saya bahkan sempat terpikir untuk memborong sambalnya saja untuk dibawa pulang ke Jakarta.


Dari segi harga cukup murah. Dua mangkuk coto, 3 ketupat, 2 minuman botol cuma menghabiskan Rp 22.000. Tiket pesawatnya memang yang mahalnya Naudzubillah! Hehehe...