Pusat kebudayaan Melayu adalah Riau. Kebudayaan ini bahkan sudah menyebar sampai ke Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, bahkan sampai menyeberang ke negara tetangga. Boleh dikata, Riau adalah Truly Malay.
Pusat dari Riau adalah Pekanbaru. Bila Anda mencari referensi tentang budaya Melayu, ke Pekanbaru Anda harus pergi. Disana dapat kita temukan berbagai macam kekayaan budaya Melayu. Salah satunya adalah budaya masak-memasak Melayu.
Riau terkenal dengan masakan ikan air tawarnya. Provinsi ini mempunyai belasan sungai besar dengan kekayaan perikanan yang luar biasa. Tapi orang Riau juga suka memasak ayam dan daging.
Masakan Riau tidak sekondang masakan Minang (Padang). Namun pada dasarnya masih serumpun. Bumbu yang dipakai pun mirip. Hanya ada perbedaan aroma sedikit. Masakan Riau sama-sama kaya santan seperti masakan Minang. Masakan Riau juga mayoritas pedas. Jika Anda menyukai masakan Padang, Anda akan menyukai masakan Riau. Perbedaan yang kentara adalah bahwa masakan Riau lebih segar sementara masakan Minang lebih kental.
Saya sendiri sangat menyukai masakan Riau. Saya sudah terlalu sering menyantap masakan Padang yang biasanya sangat kental dan berminyak, sehingga ketika mencoba masakan Riau, seakan ada gairah baru. Aromanya segar dan ringan, meski tidak kurang bumbu dan kepedasan. Orang Riau pandai mengolah rasa asam dari masakan. Masakan yang berasa asam segar memang selalu menggoda selera saya untuk mencoba dan tambah lagi dan tambah lagi.
Masakan Riau yang populer adalah ikan asam pedas (orang Padang menyebutnya asam padeh). Saya menemukan sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Riau, yang rasanya bagi saya sangat mantap, tak jauh dari daerah Arengka. Rumah makan tersebut bernama Rumah Makan Sinar Kampar, yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta. Rumah makan ini terletak beberapa bangunan di samping Hotel Ibis, sekitar 300 meter dari Mall SKA Pekanbaru.
Orang Riau (seperti halnya orang Minang) memaknai makan sebagai sebuah jamuan. Setiap makan adalah makan besar (feast). Seperti orang Cina, mereka biasanya makan dengan set menu. Orang Riau tak biasa makan sendiri, mereka makan ramai-ramai dengan nasi dalam bakul besar dan semua menu yang ada di rumah makan itu dihidangkan di atas meja. Luar biasa. Tentunya kita hanya membayar yang kita makan saja.
Menu yang saya coba adalah ikan baung asam pedas dan ikan selais goreng. Ikan baung konon semakin langka di Pekanbaru. Ikan baung adalah seperti ikan lele besar yang hidup di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia. Ikan Baung di sungai-sungai Kalimantan konon bisa sangat besar dan bisa memangsa hewan-hewan ternak.
Sementara ikan selais adalah ikon dari kota Pekanbaru. Ikan ini sebenarnya juga semakin langka, karena sulit dibudi-dayakan. Ikan selais adalah ikan kecil yang bertubuh lebar pipih. Ikan ini biasa digulai, tapi sangat cocok juga kalau digoreng seperti biasa dan dimakan dengan sambal asam. Sangat cocok sebagai teman nasi putih yang panas mengepul, dua piring.
Sedangkan ikan baung asam pedasnya sangat menggugah selera. Ikan baung memiliki daging yang tebal dan padat, namun sangat, sangat lembut. Durinya hampir tidak ada. Bumbu asam pedasnya sangat mantap. Sangat asam dan segar menggugah selera, meskipun juga gurih karena bersantan. Untuk mendapatkan rasa asam seperti itu, mereka menambahkan pare (paria). Seperti kita tahu, sayuran ini sangatlah pahit. Ternyata aroma pahit itu bisa membangkitkan rasa masakan yang asam dan segar. Ini tip yang menarik.
Jangan lupa sambal merahnya. Warnanya sungguh menggoda. Begitu pula aromanya, ditambahkan irisan tomat hijau. Membuat saya berkeringat karena perpaduan antara kepedasan dan nafsu. Benar-benar pengalaman yang mengesankan.
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Senin, 20 Desember 2010
Minggu, 12 Desember 2010
Gudeg Koyor Yu Yem
Terakhir saya pergi ke Semarang, sebelum pulang ke Jakarta, saya sempatkan berjalan-jalan di kawasan Simpang Lima. Sebelum jalan ke bandara, saya berniat untuk makan siang dulu.
Saya jalan kaki dengan santai sampai ke Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Di tengah jalan ada jalan masuk ke Jl. Seroja. Disitu ada warung gudeg Yu Yem. Iseng-iseng saya mencoba makan disitu.
Saya sudah pernah membahas sebelumnya mengenai gudeg kering ala Yogya dan gudeg basah ala Solo. Nah, gudeg Yu Yem ini jelas gudeg basah. Akan tetapi yang menarik adalah "koyor". Apakah itu koyor?
Anda harus mencoba gudeg "koyor" ini. Saya suka sekali cita rasanya. Yang dinamakan "koyor" sebenarnya adalah otot sapi. Itu istilah orang Jawa Tengah. Tapi jangan terbayang otot yang keras dan liat. Koyor itu otot sapi yang lembut sekali. Kalau Anda mengirisnya dengan sendok, koyor akan mudah terpotong. Di mulut pun terasa lembut menari-nari.
Jadi saya memesan gudeg koyor ke Yu Yem (dia sebenarnya sudah nenek-nenek), tanpa diberi opor ayam seperti yang biasa ditambahkan di gudeg umunya. Tetap ditemani sambal goreng krecek dan tempe bacem.
Saya suka sekali. Kalau tidak ingat jam pulang yang semakin mepet, mungkin saya akan lebih lama disitu, nambah satu piring lagi.
Saya jalan kaki dengan santai sampai ke Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Di tengah jalan ada jalan masuk ke Jl. Seroja. Disitu ada warung gudeg Yu Yem. Iseng-iseng saya mencoba makan disitu.
Saya sudah pernah membahas sebelumnya mengenai gudeg kering ala Yogya dan gudeg basah ala Solo. Nah, gudeg Yu Yem ini jelas gudeg basah. Akan tetapi yang menarik adalah "koyor". Apakah itu koyor?
Anda harus mencoba gudeg "koyor" ini. Saya suka sekali cita rasanya. Yang dinamakan "koyor" sebenarnya adalah otot sapi. Itu istilah orang Jawa Tengah. Tapi jangan terbayang otot yang keras dan liat. Koyor itu otot sapi yang lembut sekali. Kalau Anda mengirisnya dengan sendok, koyor akan mudah terpotong. Di mulut pun terasa lembut menari-nari.
Jadi saya memesan gudeg koyor ke Yu Yem (dia sebenarnya sudah nenek-nenek), tanpa diberi opor ayam seperti yang biasa ditambahkan di gudeg umunya. Tetap ditemani sambal goreng krecek dan tempe bacem.
Saya suka sekali. Kalau tidak ingat jam pulang yang semakin mepet, mungkin saya akan lebih lama disitu, nambah satu piring lagi.
Sabtu, 11 Desember 2010
Gudeg Barek Bu Amad
Gudeg adalah makanan tradisional Jawa Tengah dan menjadi ikon dari Yogyakarta. Apabila Anda berkunjung ke Yogya, pasti orang akan bertanya, "Sudah mencoba gudeg belum?"
Gudeg adalah sejenis stew dalam tradisi masak-memasak barat, yaitu cara memasak dengan merebus bahan-bahan padat cukup lama sehingga menjadi empuk dan kuahnya menjadi kental. Untuk itu, gudeg masuk kategori slow-cooking food. Bahkan kadang untuk memasak gudeg yang enak, diperlukan waktu lebih dari 6 jam. Kadang bahkan sampai kuahnya kering sama sekali.
Buat Anda yang belum tahu (jarang sekali orang Indonesia tidak tahu gudeg), gudeg adalah adalah masakan sayuran berwarna coklat gelap berasa manis yang terbuat dari nangka muda. Bumbu dari gudeg sangat khas dan penuh rempah. Rasa manisnya diperoleh dari gula kelapa (gula merah). Bumbu yang biasa dipakai dalam membuat gudeg adalah laos, daun salam, ketumbar, bawang putih dan bawang merah, kemiri, ketumbar, dan yang khas, yang biasanya dicampurkan ke dalam gudeg, adalah daun jati.
Ada dua macam gudeg, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Orang Solo biasanya suka sekali menyantap gudeg basah, yaitu yang berkuah dan bersantan lebih banyak. Gudeg basah biasanya lebih pedas. Gudeg kering yang disukai oleh orang Yogya biasanya berasa lebih manis.
Makan gudeg berarti makan yang serba manis (terutama gudeg kering). Orang Sumatera misalkan, yang sudah terbiasa dengan bumbu asam, asin, dan pedas, mungkin memerlukan waktu lebih banyak untuk belajar menyukainya. Campuran dari gudek yang tidak kalah penting adalah tempe dan tahu bacem (dimasak manis), telur pindang (telur yang dimasak dengan kulit bawang merah dan daun jati hingga mengeras dan berwarna hitam), dan sambal goreng krecek (kulit sapi kering yang dibumbu pedas dan direbus dengan santan hingga lembut).
Ada beberapa sentra gudeg di kota Yogya yang terkenal, di antaranya adalah Wijilan, Barek, dan lain-lain. Di Wijilan misalkan, ada rumah makan gudeg yang terkenal seperti Gudeg Yu Djum. Di daerah Janturan, ada tempat makan gudeg yang fenomenal karena makannya di dalam dapur tradisional. Di Barek (dekat UGM) pun tak kalah, ada Gudeg Bu Amad yang terkenal. Kebetulan beberapa saat yang lalu saya diberi kesempatan mengunjungi tempat rumah makan Gudeg Bu Amad.
Saya pertama kali makan di Gudeg Bu Amad tahun 2001, waktu itu adik saya masih kuliah di Yogya. Lokasinya berada di Utara Selokan Mataram, dekat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Sampai saat ini, rasanya masih tetap sama. Gurih dan menggugah selera. Makan gudeg adalah sebuah pertemuan budaya. Rasanya akan lebih enak apabila Anda makan di antara suasana khas Yogya. Anda harus memahami Yogya untuk memahami konsep di balik rasa gudeg. Menikmati makanan khas adalah sebuah pengalaman budaya.
Di Bandung, salah satu contoh untuk menjelaskan konsep pengalaman budaya ini, ada sebuah restoran gubuk di tengah sawah. Ternyata makan nasi timbel sunda di tengah sawah dengan tangan lebih enak dibandingkan makan di restoran bintang lima di Jakarta. Nasi timbelnya sendiri sebenarnya minimalis dalam bumbu dan dimana-mana rasanya sama saja. Pepatah dalam bahasa Inggris yang saya pakai: "Not just eat it. Experience it."
Nah, itulah yang saya rasakan ketika makan Gudeg Barek Bu Amad. Suasana Yogya yang tenang dan berbudaya membuat saya sangat menikmati gudeg tersebut. Selama di Yogya, saya menyukai rasa manisnya. Gurih dari bumbu yang meresap begitu dalam setelah direbus berjam-jam, terasa begitu menggugah selera dipadukan dengan nasi putih yang masih panas mengepul. Rahasia dari masakan gudeg yang sukses adalah proses memasaknya yang menggunakan kayu bakar. Aroma gudeg yang dimasak Bu Amad dengan kayu bakar merasuk hingga serasa ada suasana yang menentramkan dalam makanan tersebut. Saya selalu mengenang pengalaman ini, menjadi orang Yogya untuk sesaat. Anda mungkin perlu mencobanya.
Gudeg adalah sejenis stew dalam tradisi masak-memasak barat, yaitu cara memasak dengan merebus bahan-bahan padat cukup lama sehingga menjadi empuk dan kuahnya menjadi kental. Untuk itu, gudeg masuk kategori slow-cooking food. Bahkan kadang untuk memasak gudeg yang enak, diperlukan waktu lebih dari 6 jam. Kadang bahkan sampai kuahnya kering sama sekali.
Buat Anda yang belum tahu (jarang sekali orang Indonesia tidak tahu gudeg), gudeg adalah adalah masakan sayuran berwarna coklat gelap berasa manis yang terbuat dari nangka muda. Bumbu dari gudeg sangat khas dan penuh rempah. Rasa manisnya diperoleh dari gula kelapa (gula merah). Bumbu yang biasa dipakai dalam membuat gudeg adalah laos, daun salam, ketumbar, bawang putih dan bawang merah, kemiri, ketumbar, dan yang khas, yang biasanya dicampurkan ke dalam gudeg, adalah daun jati.
Ada dua macam gudeg, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Orang Solo biasanya suka sekali menyantap gudeg basah, yaitu yang berkuah dan bersantan lebih banyak. Gudeg basah biasanya lebih pedas. Gudeg kering yang disukai oleh orang Yogya biasanya berasa lebih manis.
Makan gudeg berarti makan yang serba manis (terutama gudeg kering). Orang Sumatera misalkan, yang sudah terbiasa dengan bumbu asam, asin, dan pedas, mungkin memerlukan waktu lebih banyak untuk belajar menyukainya. Campuran dari gudek yang tidak kalah penting adalah tempe dan tahu bacem (dimasak manis), telur pindang (telur yang dimasak dengan kulit bawang merah dan daun jati hingga mengeras dan berwarna hitam), dan sambal goreng krecek (kulit sapi kering yang dibumbu pedas dan direbus dengan santan hingga lembut).
Ada beberapa sentra gudeg di kota Yogya yang terkenal, di antaranya adalah Wijilan, Barek, dan lain-lain. Di Wijilan misalkan, ada rumah makan gudeg yang terkenal seperti Gudeg Yu Djum. Di daerah Janturan, ada tempat makan gudeg yang fenomenal karena makannya di dalam dapur tradisional. Di Barek (dekat UGM) pun tak kalah, ada Gudeg Bu Amad yang terkenal. Kebetulan beberapa saat yang lalu saya diberi kesempatan mengunjungi tempat rumah makan Gudeg Bu Amad.
Saya pertama kali makan di Gudeg Bu Amad tahun 2001, waktu itu adik saya masih kuliah di Yogya. Lokasinya berada di Utara Selokan Mataram, dekat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Sampai saat ini, rasanya masih tetap sama. Gurih dan menggugah selera. Makan gudeg adalah sebuah pertemuan budaya. Rasanya akan lebih enak apabila Anda makan di antara suasana khas Yogya. Anda harus memahami Yogya untuk memahami konsep di balik rasa gudeg. Menikmati makanan khas adalah sebuah pengalaman budaya.
Di Bandung, salah satu contoh untuk menjelaskan konsep pengalaman budaya ini, ada sebuah restoran gubuk di tengah sawah. Ternyata makan nasi timbel sunda di tengah sawah dengan tangan lebih enak dibandingkan makan di restoran bintang lima di Jakarta. Nasi timbelnya sendiri sebenarnya minimalis dalam bumbu dan dimana-mana rasanya sama saja. Pepatah dalam bahasa Inggris yang saya pakai: "Not just eat it. Experience it."
Nah, itulah yang saya rasakan ketika makan Gudeg Barek Bu Amad. Suasana Yogya yang tenang dan berbudaya membuat saya sangat menikmati gudeg tersebut. Selama di Yogya, saya menyukai rasa manisnya. Gurih dari bumbu yang meresap begitu dalam setelah direbus berjam-jam, terasa begitu menggugah selera dipadukan dengan nasi putih yang masih panas mengepul. Rahasia dari masakan gudeg yang sukses adalah proses memasaknya yang menggunakan kayu bakar. Aroma gudeg yang dimasak Bu Amad dengan kayu bakar merasuk hingga serasa ada suasana yang menentramkan dalam makanan tersebut. Saya selalu mengenang pengalaman ini, menjadi orang Yogya untuk sesaat. Anda mungkin perlu mencobanya.
Rabu, 08 Desember 2010
Nasi Ayam Simpang Lima
Namanya memang simpel: "nasi ayam". Atau "sego ayam" kata orang Jawa. Tapi makanan ini harus dicoba ketika Anda mengunjungi kota Semarang, Jawa Tengah. Anda belum ke Semarang kalau belum menikmati Nasi Ayam ini.
Sebenarnya nasi ayam adalah masakan generik. Bertebaran dimana-mana, tanpa harus ada merek. Rasanya pun hampir sama-sama antar vendor. Tapi tentu saja, karena para pelancong senang berkumpul di pusat kota Semarang, yaitu kawasan Simpang Lima, maka daerah itu menjadi sentra berkumpulnya pedagang nasi ayam. Biasanya mereka berjualan pagi, atau malah ada yang berjualan larut malam. Siang-siang justru jarang kita temui. Biasanya kita menyantap nasi ayam sambil duduk lesehan di atas tikar, sambil mengobrol menikmati pemandangan jalan Simpang Lima yang ramai.
Saking generiknya, bahkan mereka hanya menamainya nasi ayam. Padahal bermacam-macam yang dihidangkan dalam satu pincuk itu. Kalau Anda perlu gambaran populer, bisa dikatakan nasi ayam itu seperti nasi liwet Solo. Nasi liwet panas disajikan di atas pincuk daun pisang, diberi sayur labu siam, sayur tahu, potongan telur pindang, dan tentu saja daging ayam suwiran. Karena memasaknya dengan cara tradisional, aroma nasi dan sayurnya sangat sangat menggugah selera.
Biasanya kita memakannya dengan lauk tambahan. Banyak sekali pilihannya, mungkin akan membuat Anda ingin mencoba semuanya. Ada hati-ampela, tahu dan tempe bacem, sate usus ayam, sate telur puyuh, dan lain-lain. Saya mencoba yang unik, yaitu sate telur muda (telur belum jadi yang masih di dalam tubuh ayam). Orang Jawa Tengah menyebut telur muda sebagai "uritan" (sedangkan orang jawa timur menyebutnya "rongkong", dan biasa muncul di soto Lamongan yang legendaris itu). Sudah lama sekali saya tidak menikmati telur muda, karena di daerah tempat saya tinggal di Jabodetabek jarang saya temui.
Tapi ingat, buat Anda yang muslim, jangan memakan yang namanya "saren" (orang Jawa Timur menyebutnya "didih"). Saren adalah darah ayam yang dibekukan, kemudian digoreng. Biasanya berbentuk kotak seperti hati sapi, berwarna merah kehitaman. Yang lain, Insya Allah halal dan lezat.
Nasi ayam ini disiram dengan dua macam kuah: kuah sayur labu siam (orang jawa menyebutnya jipang) yang kental dan agak pedas, dan kuah opor tahu yang encer. Saya membagi tips bagi Anda yang gemar pedas luar biasa: jangan tambahkan sambal, alih-alih mintalah kepada penjualnya cabe yang direbus dalam sayur. Cabenya biasanya cabe rawit utuh yang bisa digigit langsung bersama suapan nasi.
Sebenarnya nasi ayam adalah masakan generik. Bertebaran dimana-mana, tanpa harus ada merek. Rasanya pun hampir sama-sama antar vendor. Tapi tentu saja, karena para pelancong senang berkumpul di pusat kota Semarang, yaitu kawasan Simpang Lima, maka daerah itu menjadi sentra berkumpulnya pedagang nasi ayam. Biasanya mereka berjualan pagi, atau malah ada yang berjualan larut malam. Siang-siang justru jarang kita temui. Biasanya kita menyantap nasi ayam sambil duduk lesehan di atas tikar, sambil mengobrol menikmati pemandangan jalan Simpang Lima yang ramai.
Saking generiknya, bahkan mereka hanya menamainya nasi ayam. Padahal bermacam-macam yang dihidangkan dalam satu pincuk itu. Kalau Anda perlu gambaran populer, bisa dikatakan nasi ayam itu seperti nasi liwet Solo. Nasi liwet panas disajikan di atas pincuk daun pisang, diberi sayur labu siam, sayur tahu, potongan telur pindang, dan tentu saja daging ayam suwiran. Karena memasaknya dengan cara tradisional, aroma nasi dan sayurnya sangat sangat menggugah selera.
Biasanya kita memakannya dengan lauk tambahan. Banyak sekali pilihannya, mungkin akan membuat Anda ingin mencoba semuanya. Ada hati-ampela, tahu dan tempe bacem, sate usus ayam, sate telur puyuh, dan lain-lain. Saya mencoba yang unik, yaitu sate telur muda (telur belum jadi yang masih di dalam tubuh ayam). Orang Jawa Tengah menyebut telur muda sebagai "uritan" (sedangkan orang jawa timur menyebutnya "rongkong", dan biasa muncul di soto Lamongan yang legendaris itu). Sudah lama sekali saya tidak menikmati telur muda, karena di daerah tempat saya tinggal di Jabodetabek jarang saya temui.
Tapi ingat, buat Anda yang muslim, jangan memakan yang namanya "saren" (orang Jawa Timur menyebutnya "didih"). Saren adalah darah ayam yang dibekukan, kemudian digoreng. Biasanya berbentuk kotak seperti hati sapi, berwarna merah kehitaman. Yang lain, Insya Allah halal dan lezat.
Nasi ayam ini disiram dengan dua macam kuah: kuah sayur labu siam (orang jawa menyebutnya jipang) yang kental dan agak pedas, dan kuah opor tahu yang encer. Saya membagi tips bagi Anda yang gemar pedas luar biasa: jangan tambahkan sambal, alih-alih mintalah kepada penjualnya cabe yang direbus dalam sayur. Cabenya biasanya cabe rawit utuh yang bisa digigit langsung bersama suapan nasi.
Langganan:
Postingan (Atom)