Namanya memang simpel: "nasi ayam". Atau "sego ayam" kata orang Jawa. Tapi makanan ini harus dicoba ketika Anda mengunjungi kota Semarang, Jawa Tengah. Anda belum ke Semarang kalau belum menikmati Nasi Ayam ini.
Sebenarnya nasi ayam adalah masakan generik. Bertebaran dimana-mana, tanpa harus ada merek. Rasanya pun hampir sama-sama antar vendor. Tapi tentu saja, karena para pelancong senang berkumpul di pusat kota Semarang, yaitu kawasan Simpang Lima, maka daerah itu menjadi sentra berkumpulnya pedagang nasi ayam. Biasanya mereka berjualan pagi, atau malah ada yang berjualan larut malam. Siang-siang justru jarang kita temui. Biasanya kita menyantap nasi ayam sambil duduk lesehan di atas tikar, sambil mengobrol menikmati pemandangan jalan Simpang Lima yang ramai.
Saking generiknya, bahkan mereka hanya menamainya nasi ayam. Padahal bermacam-macam yang dihidangkan dalam satu pincuk itu. Kalau Anda perlu gambaran populer, bisa dikatakan nasi ayam itu seperti nasi liwet Solo. Nasi liwet panas disajikan di atas pincuk daun pisang, diberi sayur labu siam, sayur tahu, potongan telur pindang, dan tentu saja daging ayam suwiran. Karena memasaknya dengan cara tradisional, aroma nasi dan sayurnya sangat sangat menggugah selera.
Biasanya kita memakannya dengan lauk tambahan. Banyak sekali pilihannya, mungkin akan membuat Anda ingin mencoba semuanya. Ada hati-ampela, tahu dan tempe bacem, sate usus ayam, sate telur puyuh, dan lain-lain. Saya mencoba yang unik, yaitu sate telur muda (telur belum jadi yang masih di dalam tubuh ayam). Orang Jawa Tengah menyebut telur muda sebagai "uritan" (sedangkan orang jawa timur menyebutnya "rongkong", dan biasa muncul di soto Lamongan yang legendaris itu). Sudah lama sekali saya tidak menikmati telur muda, karena di daerah tempat saya tinggal di Jabodetabek jarang saya temui.
Tapi ingat, buat Anda yang muslim, jangan memakan yang namanya "saren" (orang Jawa Timur menyebutnya "didih"). Saren adalah darah ayam yang dibekukan, kemudian digoreng. Biasanya berbentuk kotak seperti hati sapi, berwarna merah kehitaman. Yang lain, Insya Allah halal dan lezat.
Nasi ayam ini disiram dengan dua macam kuah: kuah sayur labu siam (orang jawa menyebutnya jipang) yang kental dan agak pedas, dan kuah opor tahu yang encer. Saya membagi tips bagi Anda yang gemar pedas luar biasa: jangan tambahkan sambal, alih-alih mintalah kepada penjualnya cabe yang direbus dalam sayur. Cabenya biasanya cabe rawit utuh yang bisa digigit langsung bersama suapan nasi.
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Rabu, 08 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar