Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.

Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.

Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).

Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!

Sabtu, 11 Desember 2010

Gudeg Barek Bu Amad

Gudeg adalah makanan tradisional Jawa Tengah dan menjadi ikon dari Yogyakarta. Apabila Anda berkunjung ke Yogya, pasti orang akan bertanya, "Sudah mencoba gudeg belum?"

Gudeg adalah sejenis stew dalam tradisi masak-memasak barat, yaitu cara memasak dengan merebus bahan-bahan padat cukup lama sehingga menjadi empuk dan kuahnya menjadi kental. Untuk itu, gudeg masuk kategori slow-cooking food. Bahkan kadang untuk memasak gudeg yang enak, diperlukan waktu lebih dari 6 jam. Kadang bahkan sampai kuahnya kering sama sekali.

Buat Anda yang belum tahu (jarang sekali orang Indonesia tidak tahu gudeg), gudeg adalah adalah masakan sayuran berwarna coklat gelap berasa manis yang terbuat dari nangka muda. Bumbu dari gudeg sangat khas dan penuh rempah. Rasa manisnya diperoleh dari gula kelapa (gula merah). Bumbu yang biasa dipakai dalam membuat gudeg adalah laos, daun salam, ketumbar, bawang putih dan bawang merah, kemiri, ketumbar, dan yang khas, yang biasanya dicampurkan ke dalam gudeg, adalah daun jati.

Ada dua macam gudeg, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Orang Solo biasanya suka sekali menyantap gudeg basah, yaitu yang berkuah dan bersantan lebih banyak. Gudeg basah biasanya lebih pedas. Gudeg kering yang disukai oleh orang Yogya biasanya berasa lebih manis.

Makan gudeg berarti makan yang serba manis (terutama gudeg kering). Orang Sumatera misalkan, yang sudah terbiasa dengan bumbu asam, asin, dan pedas, mungkin memerlukan waktu lebih banyak untuk belajar menyukainya. Campuran dari gudek yang tidak kalah penting adalah tempe dan tahu bacem (dimasak manis), telur pindang (telur yang dimasak dengan kulit bawang merah dan daun jati hingga mengeras dan berwarna hitam), dan sambal goreng krecek (kulit sapi kering yang dibumbu pedas dan direbus dengan santan hingga lembut).

Ada beberapa sentra gudeg di kota Yogya yang terkenal, di antaranya adalah Wijilan, Barek, dan lain-lain. Di Wijilan misalkan, ada rumah makan gudeg yang terkenal seperti Gudeg Yu Djum. Di daerah Janturan, ada tempat makan gudeg yang fenomenal karena makannya di dalam dapur tradisional. Di Barek (dekat UGM) pun tak kalah, ada Gudeg Bu Amad yang terkenal. Kebetulan beberapa saat yang lalu saya diberi kesempatan mengunjungi tempat rumah makan Gudeg Bu Amad.

Saya pertama kali makan di Gudeg Bu Amad tahun 2001, waktu itu adik saya masih kuliah di Yogya. Lokasinya berada di Utara Selokan Mataram, dekat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Sampai saat ini, rasanya masih tetap sama. Gurih dan menggugah selera. Makan gudeg adalah sebuah pertemuan budaya. Rasanya akan lebih enak apabila Anda makan di antara suasana khas Yogya. Anda harus memahami Yogya untuk memahami konsep di balik rasa gudeg. Menikmati makanan khas adalah sebuah pengalaman budaya.

Di Bandung, salah satu contoh untuk menjelaskan konsep pengalaman budaya ini, ada sebuah restoran gubuk di tengah sawah. Ternyata makan nasi timbel sunda di tengah sawah dengan tangan lebih enak dibandingkan makan di restoran bintang lima di Jakarta. Nasi timbelnya sendiri sebenarnya minimalis dalam bumbu dan dimana-mana rasanya sama saja. Pepatah dalam bahasa Inggris yang saya pakai: "Not just eat it. Experience it."

Nah, itulah yang saya rasakan ketika makan Gudeg Barek Bu Amad. Suasana Yogya yang tenang dan berbudaya membuat saya sangat menikmati gudeg tersebut. Selama di Yogya, saya menyukai rasa manisnya. Gurih dari bumbu yang meresap begitu dalam setelah direbus berjam-jam, terasa begitu menggugah selera dipadukan dengan nasi putih yang masih panas mengepul. Rahasia dari masakan gudeg yang sukses adalah proses memasaknya yang menggunakan kayu bakar. Aroma gudeg yang dimasak Bu Amad dengan kayu bakar merasuk hingga serasa ada suasana yang menentramkan dalam makanan tersebut. Saya selalu mengenang pengalaman ini, menjadi orang Yogya untuk sesaat. Anda mungkin perlu mencobanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar