Sejak dulu, saya selalu terpesona dengan kekayaan tradisi masak-memasak orang Madura. Saya menyukai dan mengagumi hampir semua masakannya, dari sate ayam, soto daging, bebek goreng, bubur madura, dan lain-lain. Kekayaan budaya masak-memasak Madura tak pernah habis untuk di-explore, dan menyebar sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Menurut saya, etnis Madura adalah etnis yang genius dalam budaya kuliner.
Masyarakat Indonesia juga mayoritas sudah akrab dengan masakan Madura. Ini dikarenakan orang etnis Madura memang menyebar di seluruh Indonesia. Saya bisa menemukan pedagang makanan Madura di Jakarta, Pekanbaru, sampai Manado Tidak terkecuali di Malang. Malang adalah kota besar di Jawa Timur yang tidak terlalu jauh dengan Pulau Madura. Etnis Madura di Malang adalah etnis terbesar kedua setelah etnis Jawa. Di beberapa kampung di Kabupaten Malang bahkan memakai bahasa Madura sebagai sarana komunikasi sehari-hari.
Salah satu masakan khas etnis Madura di Malang adalah Nasi Bhuk. Nasi Bhuk ini makanan orang Madura yang justru menjadi ikon gastronomi Malang. Awal kata Nasi Bhuk sebenarnya dari kata Nasi "Ibu" dalam dialek Madura yang menjadi "Bhuk". Maksudnya, yang menjual menu ini di warung adalah ibu-ibu Madura. Warung Nasi Bhuk di Malang tersebar di banyak tempat, tidak susah untuk menjumpainya.
Saya sempat mengunjungi Depot Nasi Bhuk Khas Madura di Jalan Kawi, Malang. Ternyata cukup ramai dengan aroma yang menggoda. Setelah mencoba Nasi Bhuk pesanan saya, ternyata sangat sesuai dengan selera saya.
Nasi Bhuk adalah hidangan racikan, merupakan sejenis nasi rames atau nasi ulam di Jakarta. Pada dasarnya, Nasi Bhuk adalah nasi dengan lauk-pauk, disiram dengan sayur lodeh yang light, dilengkapi sambal dan kecambah, ditaburi srundeng, dan dimakan dengan rempeyek yang terbuat dari kelapa parut. Untuk lauknya bisa macam-macam, antara lain daging empal, jerohan, atau ayam. Saya memesan Nasi Bhuk dengan potongan paru sapi dan tempe goreng. Mmmm... rasa jeroannya yang empuk, kuah lodehnya yang segar, dan srundengnya yang gurih masih terasa di lidah sampai sekarang. Satu lagi persembahan Madura yang kaya untuk Indonesia.
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar