Setiap daerah biasanya mempunyai tradisi sarapan pagi masing-masing. Ada beberapa daerah yang mempunyai tradisi sarapan bubur. Ada juga daerah yang mempunyai tradisi sarapan ketupat atau lontong. Ada juga yang cukup dengan gorengan atau roti bakar. Di Jawa Timur bahkan, tradisi sarapan sangat kuat sampai mereka makan berat, seberat makan siang, untuk sarapan pagi.
Jakarta adalah kota metropolitan yang dipenuhi pekerja dari berbagai daerah dan suku di nusantara. Kemacetan yang akut membuat penduduknya sebagian besar tidak mempunyai waktu sarapan di rumah. Itu sebabnya mereka terbiasa sarapan di jalan, dengan membeli makanan beraneka ragam yang dijajakan. Makanan terpopuler untuk sarapan di Jakarta antara lain adalah ketoprak, bubur ayam, mie ayam, dan lain-lain. Yang khas dari kebudayaan Betawi dan juga sangat populer adalah nasi uduk. Penjual nasi uduk dapat ditemui dari sudut-sudut gang kecil sampai restoran besar. Penjual nasi uduk pun sekarang bervariasi, dari ibu rumah tangga yang mencari penghasilan sampingan, sampai pengusaha restoran. Etnisnya pun sudah mulai beragam, tidak melulu orang Betawi, ada juga penjual nasi uduk dari etnis Jawa dan Cina. Semua membawa pengaruh budaya masing-masing ke dalam cita rasa nasi uduk.
Saking populernya nasi uduk, ada menu dalam budaya sarapan betawi yang kian tersisih, bahkan semakin langka, yaitu Nasi Ulam. Sangat sulit menemui pedagang Nasi Ulam sekarang, kebanyakan tersembunyi di kampung-kampung padat penduduk yang penuh oleh etnis Betawi. Padahal dalam sejarah, menu nasi ulam pernah menjadi menu favorit dan tercatat di beberapa literatur. Pada masa sekarang, pedagang nasi ulam yang tersisa masih dapat kita temui di kampung-kampung Jakarta Barat.
Nasi ulam sebenarnya bukan masakan yang khas. Dia lebih merupakan menu racikan, seperti nasi rames atau nasi campur. Nasi ulam adalah nasi putih yang disajikan dengan emping, potongan mentimun segar, dan dendeng sapi dan lauk lainnya, ditaburi dengan bubuk kacang dan cacahan teri nasi, kemudian disiram dengan kuah semur encer, dilengkapi dengan daun kemangi. Daun kemangi adalah kekhasan dari menu ini, meskipun pada awalnya yang dipakai adalah daun pegagan. Mengingat daun pegagan sudah mulai langka di Jakarta, daun kemangi yang juga mempunyai aroma yang kuat menjadi penggantinya.
Sebenarnya ada 2 jenis nasi ulam Betawi, nasi ulam berkuah dan nasi ulam kering. Seperti saya jelaskan tadi, nasi ulam berkuah disiram kuah semur yang light, sementara nasi ulam kering tidak memakai kuah. Nasi ulam berkuah lebih sering kita temui di Jakarta Barat, sedangkan nasi ulam kering kesukaan penduduk Jakarta Selatan. Saya tidak terlalu terpesona dengan nasi ulam kering karena tanpa kuah semur yang dicampur dengan bubuk kacang itu, nasi ulam kehilangan orisinalitasnya.
Ada resto besar, yang mempunyai jaringan di mall-mall, yang menjual menu nasi ulam kering (yang menurut saya tidak terlalu istimewa). Tapi apabila Anda ingin mencoba nasi ulam yang berkuah seperti yang saya bahas, cobalah pergi ke daerah Kota Tua, atau ke daerah Angke. Pagi hari di sekitar museum Bank Mandiri, ada penjual yang setia menjajakan nasi ulam dengan gerobak kecilnya tiap pagi. Di daerah Angke ada beberapa yang pernah saya coba, yaitu di daerah Pasar Kampung Bebek, juga ada gerobak kecil yang buka malam hari di dekat Kantor Kelurahan Pekojan. Semuanya dijual dengan harga yang amat sangat terjangkau, karena menu ini adalah menu rakyat kecil dengan daya beli yang marjinal. Ada pula rumah makan di sebuah ruko yang memiliki menu nasi ulam dengan pilihan lauk lebih banyak, yaitu Nasi Ulam Garuda di daerah Jembatan Dua, Latumenten, Jakarta Barat. Di Nasi Ulam Garuda, tempat makannya juga lebih representatif, lebih luas dengan meja yang cukup banyak.
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar