Memang di Jakarta juga banyak restoran Coto Makassar. Tapi ada cita rasa khas yang ketika kita makan di warung Coto Makassar Paraikatte, di kota kelahirannya sendiri, yang tidak kita dapatkan di restoran manapun di Jakarta.
Coto Paraikatte terletak di jalan Patterani, Makassar, Sulawesi Selatan. Tiap harinya ramai oleh pengunjung yang notabene penduduk lokal. Saat itu mungkin cuma saya orang Jakarta yang makan di situ.
Rasanya khas. Saya pesan coto jerohan dan seorang teman pesan coto daging. Memang yang saya pesan berisiko kolesterol tinggi, tapi menurut saya, pengolahan jerohan yang prima sangat memberikan nilai tambah terhadap rasa khas coto. Asal jangan keseringan makan coto jerohan saja. Dan ternyata coto jerohan di Paraikatte cukup enak.
Kalau saya diminta memberikan nilai skala 1-10, ada satu hal yang membuat saya bermaksud memberikan nilai 9, yaitu "Sambal"nya. Sambalnya luar biasa, memiliki cita rasa yang tidak akan kita temui meskipun kita seharian mengubek-ubek Jakarta.
Sambalnya terutama terbuat dari tauco atau kedelai asli dan kental. Cita rasanya pas, dan pedasnya pas pula. Rasanya tidak ada duanya, melengkapi rasa coto, tapi juga mempunyai kekhasan rasa dan aroma tersendiri. Saya bahkan sempat terpikir untuk memborong sambalnya saja untuk dibawa pulang ke Jakarta.
Dari segi harga cukup murah. Dua mangkuk coto, 3 ketupat, 2 minuman botol cuma menghabiskan Rp 22.000. Tiket pesawatnya memang yang mahalnya Naudzubillah! Hehehe...
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar