Sudah beberapa tahun ini saya tinggal di kampung betawi yang masih tradisional. Meski tidak terlalu cocok dengan gaya hidup mereka, saya menggemari tradisi masak-memasak betawi. Menurut saya mereka mempunyai sense of culinary yang tinggi. Ditambah asimilasi dan akulturasi yang melatarbelakangi warisan masakan tradisional mereka. Di kekayaan masakan tradisional Betawi, kita bisa menemukan unsur Cina, Sunda, Bugis, Arab, dan Sumatra.
Beberapa waktu lalu saya makan di Ketupat Gorengan Bang Alex, Kebon Jeruk. Jenis masakan tradisional ini bisa dibilang hanya bisa ditemui di sekitar Kebon Jeruk dan Kebayoran Baru, Jakarta.
Sebenarnya nama Ketupat Gorengan adalah salah kaprah. Tidak ada gorengan di situ. Yang dimaksud dengan Ketupat Gorengan adalah ketupat sayur, dicampur dengan daging dan jerohan sapi, dalam kuah bersantan seperti sop betawi.
Ketupat Gorengan Bang Alex terletak di Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta. Hanya warung tenda kecil di pinggir jalan, pas di sebelah Restoran Bumbu Desa (yang mengaku kampungan tapi megah luar biasa). Harga makanan bumi dan langit bila dibandingkan dengan konglomerasi Bumbu Desa.
Kalau Anda tidak mudah hilang selera dengan jerohan, coba pesan jerohan dan daging mata sapi. Daging di sekitar mata sapi memiliki tekstur yang berbeda dengan daging di bagian lain, bahkan biasanya masih ada potongan bagian matanya. Kalau Anda tidak terbiasa, potongan daging has juga tersedia.
Sop daging itu dimakan dengan ketupat sayur, dengan labu siam. Tidak salah kalau ada yang bilang ketupat sayur disini adalah salah satu yang paling enak di seantero Jakarta.
Masakan tradisonal ini perlu Anda coba. Tidak terlalu otentik sebenarnya, kita sudah terbiasa sebelumnya menyantap soto betawi dan ketupat sayur. Hanya perpaduan penyajiannya yang membuatnya begitu unik. Tentunya hidangan ini tidak disarankan untuk Anda yang berkolesterol dan asam urat tinggi.
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar