Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.

Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.

Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).

Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!

Sabtu, 20 November 2010

Lunpia Mataram

Orang muslim sebaiknya tidak sembarangan makan di Semarang. Semarang adalah kota tua tempat berkumpulnya etnis dan budaya yang bermacam-macam. Setiap budaya memiliki tradisi makanan khas sendiri-sendiri, kadang malah terjadi percampuran dan pembauran budaya kuliner. Keragaman ini begitu kentara dalam sajian makanan-makanan di Semarang. Ada yang halal, ada pula yang tidak.

Di Semarang, dengan mudah kita jumpai makanan yang jarang secara bebas kita temui di kota-kota lain. Di daerah stadion Diponegoro, sebuah warung yang tak sepi pengunjung menjual Rica-rica RW (sebutan untuk rica-rica daging anjing) dan Tengsu (Tongseng 'Asu'). Di beberapa warung masakan jawa, sering kita temui Saren (orang Surabaya menyebutnya 'Didih', artinya darah ayam yang dibekukan). Orang Semarang juga gemar sekali menyantap Swikee, masakan dari daging kodok.

Saat saya berjalan-jalan di Semarang, saya mencari makanan yang identik dengan Semarang, yaitu lumpia. Saya hendak pergi ke sebuah gang di Semarang dimana lumpia disitu terkenal akan keasliannya. Belakangan seorang teman yang non muslim menyarankan saya untuk tidak pergi kesana, menurut dia lumpia disitu memakai daging babi. Konsumen disitu memang kebanyakan keturunan Tiong Hoa, karena daerah tersebut juga sebenarnya masuk China Town.

Tapi sebenarnya Semarang adalah sebuah Chinatown besar. Pada abad ke-15, Laksamana Cheng Ho yang terkenal dari Tiongkok mendarat di Semarang dan mendirikan sebuah gedung yang kemudian dijadikan Kelenteng. Laksamana Cheng Ho sendiri sebenarnya adalah orang Islam, dan konon dia termasuk orang-orang yang paling awal mengajarkan agama Islam kepada penduduk asli Semarang. Pelaut dan Prajurit Laksamana Cheng Ho banyak yang memutuskan untuk tinggal dan beranak pinak di Semarang, sampai sekarang.

Itu mengapa, kehidupan antar etnis di Semarang berlangsung rukun. Tradisi masak-memasaknya pun berasimilasi, dengan menyesuaikan preferensi rasa dan budaya dan agama masing-masing. Lumpia adalah masakan yang dibawa dari pendatang tiongkok dan akhirnya digemari penduduk asli. Penduduk asli pun membuat lumpia versi mereka sendiri, sesuai dengan budaya dan cita rasa mereka sendiri.

Saya adalah penggemar berat lumpia. Entah kenapa, saya tak bisa menahan diri bila melihat menu lumpia di rumah makan. Kegemaran saya dipuaskan ketika saya mengunjungi Semarang.

Nama asli dalam bahasa Cina dialek Hokkian adalah "lunpia" atau "junpia". Banyak orang Indonesia dan Filipina menyebutnya "lumpia". Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama 'Spring Roll', karena di Cina Daratan, lumpia adalah makanan yang biasa dimakan pada musim semi. Lumpia adalah makanan pembuka sebelum menu utama, akan tetapi di Hong Kong, lumpia biasanya juga menjadi bagian menu teman minum teh (dimsam). Orang Belanda yang pernah menjajah Semarang membawanya ke negerinya dan menjadi makanan yang sangat populer disana, mereka menyebutnya "loempia". Selain lumpia goreng, saya juga gemar lumpia basah, terutama yang terkenal dari Vietnam, dengan isi udang, soun, daun ketumbar dan rempah-rempah lain, dihidangkan dingin.

Akhirnya saya makan lumpia khas Semarang yang halal. Saya makan di tempat bernama Lunpia Mataram, di Jalan Pandanaran, yang merupakan cabang dari gerai di Jalan Mataram. Pemilik kedai lumpia ini (seperti pemilik kedai-kedai lumpia kebanyakan di Semarang) adalah keturunan dari satu keluarga saja, yaitu keturunan Tjoa-Wasi.

Pada abad ke-19, Tjoa Thay Joe, seorang Cina totok dari Fukien, berjualan lumpia di Semarang dengan cukup sukses. Rasa lumpianya asli cita rasa Hokkian, dengan isi daging babi dan rebung. Ternyata dia memiliki saingan, yaitu Mbok Wasi, seorang wanita Semarang asli, yang berjualan lumpia dengan cita rasa Jawa yang manis, dengan isi telur, udang, rebung, wortel, dan sayuran lain. Persaingan ini sangat keras, sehingga mereka saling meningkatkan mutu menu dagangan mereka.

Tidak disangka, pada suatu ketika Tjoa Thay Joe tiba-tiba datang ke tempat Mbok Wasi, dan kemudian meminangnya. Mbok Wasi menerima pinangannya, dan akhirnya mereka menikah. Dalam pernikahan ini, mereka meracik perpaduan resep dari lumpia mereka, sehingga bisa kita temui lumpia Semarang yang sekarang ini ada. Dalam perpaduan itu, daging babi sudah tidak dipakai lagi, agar dapat dikonsumsi juga oleh kaum pribumi. Kebanyakan pedagang lumpia terkemuka di Semarang sekarang ini adalah keturunan dari mereka, dan masih memegang teguh resep asli mereka.

Lumpia yang saya makan di Lunpia Mataram cukup besar. Adonannya sangat penuh dan menggoda. Kulitnya sangat gurih. Aroma rebung dan udangnya sangat terasa. Khas hampir semua masakan di Semarang, rasanya sangat manis, terutama saus celupnya. Kalau di Hong Kong atau Vietnam, teman dari lumpia adalah saus Hoisin, sejenis saus kental asin berwarna hitam terbuat dari kedelai, bawang putih, cuka, dan ubi. Bila kita makan lumpia di Surabaya, temannya adalah saus Tauco. (Orang Jakarta punya kebiasaan aneh mencelupkan segala jajanan ke bumbu pecel.)

Di Semarang, saus untuk lumpia adalah bumbu kental dan kenyal yang sangat manis, terbuat dari gula merah, bawang, dan tapioka. Saya sebenarnya penggemar saus Tauco, tapi menarik juga makan lumpia dengan cara Semarang. Anda harus terbiasa dengan rasa manis sebelum mencoba menyukainya.

Yang khas dan selalu saya nantikan dari sebuah lumpia adalah aroma rebung yang otentik. Lumpia Semarang sangat kuat rasa rebungnya tanpa membuat neg. Ini lah yang otentik dari sebuah lumpia. Di Cina, lumpia kadang berisi rebung atau bengkoang. Banyak makanan jalanan di Jakarta yang menyediakan menu lumpia tapi tanpa rebung. Kalaupun ada kadang tanpa pengolahan yang benar. Rebung meninggalkan aroma yang khas dan kadang tidak sedap. Untuk itu pengolahan lumpia di tangan seorang ahli menjamin rasa yang otentik dan menggugah selera dari rebung itu sendiri.

Lumpia hanya 'sekedar' gorengan, tapi sesungguhnya makanan ini cukup rumit. Baik dari isinya, saus celupnya, maupun kulitnya. Lunpia Mataram yang saya makan memiliki kesempurnaan selain di isinya, juga di kulitnya. Kulitnya lembut, tapi gurih dan tidak mudah hancur. Tidak terlalu kering, juga tidak terlalu berminyak ketika digoreng. Diperlukan pengalaman bertahun-tahun untuk dapat membuat kulit lumpia seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar