Mengapa namanya "tahu pong"? Apakah itu nama yang berasal dari bahasa Cina? Ternyata bukan.
Memang tahu pong berasal dari tradisi masakan Cina. Tapi orang Jawa yang menamainya "tahu pong", karena tahunya memang "kopong". Maksudnya tahu goreng yang bagian dalamnya kosong.
Di Semarang, masakan tahu pong sangat populer, karena Semarang memang terkenal dengan akulturasi budaya Cina-Jawanya. Pada intinya, tahu pong adalah sekedar kudapan sederhana yang terdiri dari tahu goreng.
Di Jalan Depok, Semarang, terdapat warung tahu pong yang cukup ramai, yaitu Tahu Pong Sari Roso. Sebenarnya bukan hanya tahu pong, tapi segala jenis olahan tahu yang khas mereka tawarkan.
Ada beberapa menu yang bisa dipesan, antara lain tahu pong (tahu kosong), tahu gimbal (tahu dan udang digoreng dalam 1 adonan), tahu emplek (maksudnya tahu Cina yang padat, tidak "kopong"), atau tahu kopyok (tahu yang dihancurkan kemudian digoreng kembali jadi 1 dalam adonan telur). Untuk menikmatinya, disediakan saus khas tahu pong Semarang, yaitu saus encer hitam, seperti kuah, yang terbuat dari petis, kecap, dan bawang. Biasanya para pelanggan menambahkan irisan cabe rawit ke dalam saus ini.
Biasanya, orang Semarang memakan menu tahu pong ini dengan nasi. Tapi karena saya belum terbiasa, jadi saya memperlakukannya sebagai kudapan saja. Untuk menikmatinya, selain saus, juga disediakan acar lobak sebagai teman makan.
Sebenarnya ini adalah seni makan tahu. Untuk bisa mengapresiasi menu tahu pong di sebuah rumah makan, kualitas tahu sangat penting. Sausnya sendiri menurut saya tidak terlalu penting. Sausnya, seperti kebanyakan masakan Semarang, sangat manis karena kecap manis yang mendominasi. Petis udang hanya sebagai penyeimbang rasa. Berbeda dengan masakan Jawa Timur misalkan, yang sangat kentara rasa petis udang di banyak masakan. Di beberapa budaya masakan Indonesia lain, berbeda dengan Semarang, makan tahu identik dengan saus kacang.
Sekali lagi, kualitas tahu yang ditonjolkan disini, sehingga harganya juga di atas rata-rata bila kita makan tahu di tempat lain. Bandingkan misalkan, bila di pinggiran jalan di Bandung, Anda bisa membeli tahu Sumedang sekeranjang isi 30 beserta lontongnya seharga Rp 10 ribu. Saya makan tahu pong dan tahu gimbal sepiring beserta minum di Semarang mengeluarkan uang sekitar Rp 18 ribu. Tapi cukup mengenyangkan juga, Kok! Untung saya tidak pesan nasi. Kalau iya, jadinya bayar lebih mahal ya?
Dalam buku Eat, Pray, Love, penulisnya melakukan petualangan makan di Italia, berdoa di India, dan mencintai di Indonesia. Saya pikir dia terbalik-balik. Di Indonesia, makanan sangatlah enak dan khas. Orang Indonesia juga sangat taat berdoa. Saking taatnya sampai kita bersedia saling melukai. Alih-alih, Indonesia adalah negara yang kekurangan cinta. Mari kita menjelajah Indonesia untuk mencari cinta yang tersembunyi di antara peradaban yang tua dan mulai kusam. Sebelumnya, mari kita makan.
Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.
Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.
Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).
Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar