Ini adalah jurnal mengenai perjalanan saya ke daerah-daerah di Indonesia. Saya tidak selalu berniat melakukan petualangan karena lebih sering saya melakukan perjalanan karena ditugaskan kantor saya. Dalam perjalanan itu, di waktu luang saya mencoba kekayaan masakan khas daerah tersebut.

Akhirnya, jurnal perjalanan ini menjadi sekedar jurnal icip-icip masakan nusantara. Saya tak begitu pandai menilai enak-atau tidaknya suatu masakan. Saya hanya bisa menggambarkannya saja. Masalah rasa enak atau tidak enak, saya tak berani mendikte lidah Anda. Lidah saya sendiri saja saya tak berani dikte.

Gastronomi adalah sebuah ilmu relasi antara makanan dan budaya. Bukan penilaian enak atau tidaknya. Saya makan bukan karena lezat (kalau begini biasanya saya menjadi gemuk dan tidak sehat). Bukan juga karena gaya hidup (yang membuat saya konsumtif hanya untuk makan apa yang orang lain makan).

Saya mencoba makanan khas daerah karena menikmati budaya. Makan adalah pengalaman. Not just eat it, experience it! Selamat makan!

Kamis, 18 November 2010

Lontong Balap Rajawali

Lontong Balap adalah makanan khas Jawa Timur yang kadang underrated. Orang lebih kenal Rawon atau Soto Sulung daripada Lontong Balap. Banyak orang yang belum kenal.


Sebenarnya Lontong Balap tidak jauh berbeda tampilannya dari Tauge Goreng yang sering kita temui di Bogor. Konsep sama dengan treatment yang berbeda. Hanya saja rasa khasnya didapat dari bumbu petis udang, yang menandai cita rasa masakan pesisir. Campuran unik lainnya adalah lontong, tahu, dan gorengan dari kedelai yang disebut "Lento".


Saya memang kelahiran Jawa Timur, tapi jujur, saya kurang akrab dengan Lontong Balap. Aromanya agak khas, sehingga tidak semua orang Surabaya sendiri suka. Namanya sendiri juga terkesan aneh dan tidak nyambung. Tapi nama tidak penting.


Saya sempat mengunjungi Lontong Balap Rajawali, di Jalan Rajawali, Surabaya. Tempatnya kecil, seperti warteg. Tapi konon musisi papan atas Indonesia sering terlihat makan disana kalau sedang di Surabaya. Kalau Anda menginap di Hotel Ibis Surabaya, tinggal jalan kaki sekitar 200 meter ke barat.


Ternyata ada pengalaman yang berbeda menyantap Lontong Balap. Makan Lontong Balap seharusnya ditemani Sate Kerang. Sate Kerang Surabaya biasanya dipilih kerang yang kecil-kecil tapi gurih. Rasa khas ini tidak saya temui di Jakarta. Tidak salah juga menyebut makanan ini sebagai seafood alternatif.


Orang Surabaya biasa minum es kelapa muda setelah makan Lontong Balap. Tapi berhubung saya mengurangi kebiasaan minum minuman dengan es batu sejak awal 2000, saya pesan teh hangat. Ingat, teh di Jawa Timur selalu manis.


Untuk semuanya, saya membayar Rp 12.000. Cukup memuaskan, tidak percuma mencobanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar